Warukin adalah salah satu desa di Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Indonesia, ter letak sekitar 13 KM dari kota Tanjung. Jumlah
penduduk di desa ini ±1858 orang, dengan mata pencaharian rata-rata sebagai petani
Karet. Orang Dayak Ma’anyan Warukin
yang sering disebut Dayak Warukin
adalah subetnis suku Dayak Maanyan yang mendiami desa Warukin, Haus, dan sekitarnya di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Pemukiman Dayak Warukin terdapat dalam daerah
kantong/enclave yang di sekitarnya adalah daerah pemukiman suku Banjar.
Mungkin sebenarnya tidak semua orang dari Suku Dayak
Maanyan sudah memeluk agama Islam, tapi perkembangan Islam yang sangat pesat di
wilayah Kalimantan Selatan dan kedatangan suku-suku lain dari luar Kalimantan
yang juga beragama Islam sedikit banyak telah mempengaruhi pandangan masyarakat
Suku Dayak tentang Islam. Suku Dayak Ma’anyan atau Dayak Warukin adalah
penduduk asli daerah Tabalong. Jauh sebelum Islam dan agama yang lain datang,
mereka memeluk agama Kaharingan (Kehidupan), yaitu aliran kepercayaan Suku
Dayak Kalimantan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan dalam istilah agama
Kaharingan disebut Ranying.
Salah satu bukti diterimanya Islam oleh Suku Dayak di
Kabupaten Tabalong adalah didirikannya Masjid Pusaka Banua Lawas sekitar tahun
1600an, di Kecamatan Banua Lawas Kabupaten Tabalong. Konon di lokasi tepat
berdirinya Masjid ini, dulunya merupakan pesanggrahan atau tempat pemujaan Suku
Dayak Maanyan. Bahkan di Masjid ini masih terdapat 2 buah tajau (gentong tempat
menampung air yang digunakan orang Dayak untuk memandikan bayi yang baru lahir)
peninggalan orang Dayak Maanyan yang telah berumur 400 tahun.
Seiring masuknya agama Islam ke wilayah Tabalong
sebagian dari orang Dayak Maanyan yang tidak bisa menerima Islam memilih
meninggalkan Banua Lawas. Mereka memilih masuk ke pedalaman-pedalaman hutan di
wilayah Kalimantan Tengah. Sebagian besar orang Suku Dayak yang telah memeluk
agama Islam tidak lagi menyebut diri mereka sebagai orang Dayak melainkan orang
Banjar dan bermukim di wilayah Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin,
bahkan salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung
Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak Maanyan.
Asal Mula Desa Warukin dan
Sejarah Tari Bulat
Pada zaman dahulu, tersebutlah seorang lelaki bernama
Nawuraha yang konon berasal dari Kalimantan Tengah, bermaksud mencari dan
membuka lahan pemukiman baru. Usaha Nawuraha tersebut tidaklah mudah, karena ia
harus berhadapan dengan hutan belantara yang belum pernah terjamah oleh tangan
manusia. Dengan berbekal peralatan seadanya seperti busur, sumpit dan mandau,
Nawuraha bersama temannya terus berjalan mencari pemukiman baru. Sampai di satu tempat, Nawuraha mendapat firasat gaib
bahwa untuk mendapatkan tempat bermukim yang baik, ia harus membidikkan anak
panahnya ke satu tempat. Nawuraha pun menarik busur dan melepaskan anak
panahnya. Kemudian ia berjalan lagi menuju ke arah anak panah tersebut. Setelah
ditelusuri, Nawuraha mendapati anak panahnya tersangkut di atas pohon “Lelutung”
yang biasa menjadi tempat bersarangnya “wanyi” (tawon). Maka ia pun
mulai membuka lahan dan membuat pemukiman di sekitar tempat itu seperti bisikan
gaib yang diterimanya.
Tempat itulah yang sekarang dikenal sebagai Desa
warukin atau Waruken, yang merupakan paduan dari kata “Weruk” atau
Beruk (kera) dan “Papaken” atau buah Pepakin (sejenis duren tetapi
isinya berwarna kuning). Satu saat, seorang warga Desa Warukin mengalami
kegamangan hati. Di tengah kesulitan hidup ia kemudian menyepi ke hutan
belantara untuk mencari pencerahan dan makna hidup yang sebenarnya. Tiba-tiba
muncul sosok legenda penjaga kampung mereka yang tidak lain adalah Nawuraha,
memberikan kepadanya buah semangka yang harus dihabiskannya saat itu juga. Setelah
buah itu dimakannya tak bersisa, tanpa sadar tubuhnya bisa melingkar bulat
elastis seperti buah semangka. Itulah asal tarian bulat yang dikenal sekarang.
Maknanya adalah bahwa dalam menghadapi kehidupan ini, seseorang harus memiliki
pendirian dan keyakinan yang bulat kepada yang maha Kuasa.
Suku Dayak Warukin (Tabalong-Kalsel) merupakan salah
satu subsuku Dayak Maanyan yang memiliki upacara balian bulat. Tradisi balian
ini dibuat menjadi sebuah atraksi kesenian yang disebut Tari Tandik Balian. Orang
Dayak Warukin adalah suku Maanyan yang terdapat di desa Warukin dan desa Haus,
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Pemukiman Dayak Warukin terdapat dalam
daerah kantong/enclave yang disekitarnya adalah daerah pemukiman suku Banjar. Hal
ini bisa terjadi karena dahulu kala daerah di sekitar lembah sungai Tabalong
pada umumnya adalah wilayah tradisonal suku Ma’anyaan, tetapi akhirnya mereka
terdesak oleh perkembangan Kerajaan Negara Dipa yang menjadi cikal bakal suku
Banjar. Selanjutnya suku Maanyan terkonsentrasi di sebelah barat yaitu di
wilayah Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, dan sebagian terdapat di
sebelah timur yaitu di Kabupaten Kota baru yang disebut Dayak Samihim.
Dayak Warukin di desa Warukin, Kecamatan Tanta,
Tabalong merupakan bagian dari Ma’anyan Benua Lima. Maanyan Benua Lima
merupakan subetnis Maanyan yang terdapat di kecamatan Benua Lima, Barito Timur.
Nama asalnya Ma’anyan Paju Lima. Istilah “benua” berasal dari Bahasa Melayu Banjar.
Desa warukin terletak di kabupaten tabalong,
kalimantan selatan. Dari Banjarmasin 6
jam driving (kalo jalanan lancar, ada titik2
kemacetan pada siang hari), arah ke utara melalui jalan lintas propinsi
menuju ke balikpapan. Untuk akses darat
bisa menggunakan bus jurusan balikpapan
di sore sampai malam hari, atau
menggunakan angkot. Akses udara bisa menggunakan pelita air dengan durasi + 45 menit pada jam 12.30
siang (hari minggu off), Sedangkan untuk akses air bisa menggunakan speed boat
dari pelabuhan trisakti (banjarmasin) +
4-5jam. Tapi sayang untuk menuju ke lokasi tidak ada transportasi umum. Untuk akses darat dan udara
hanya bisa sampai jalan lintas propinsi
saja. Apalagi dengan akses sungai hanya bisa sampai di daerah kelanis ( 1,5jam kearah barat warukin). Kekerabatan
bahasa Maanyan Warukin dengan bahasa Banjar Kuala Lupak (Banjar Kuala) sekitar 50%. Kekerabatan bahasa
Maanyan Warukin dengan bahasa Banjar Asam-Asam sekitar 57%. Di Kabupaten Tabalong ini terbagi menjadi empat
wilayah keadatan Dayak, salah satu diantaranya wilayah keadatan Dayak Maanyan yaitu :
- Wilayah keadatan Dayak Maanyan di desa Warukin
- Wilayah keadatan Dayak Deyah Kampung Sepuluh, meliputi
sepuluh desa di kecamatan Upau, Haruai, Bintang Ara.
- Wilayah keadatan Dayak Deyah Muara Uya dan Jaro.
- Wilayah keadatan Dayak Lawangan di desa Binjai.
Di luar keempat daerah-daerah kantong keadatan Dayak
Kabupaten Tabalong tersebut juga terdapat suku Banjar yang merupakan mayoritas
populasi penduduk Tabalong dan suku Banjar ini tidak terikat dengan Hukum Adat
Dayak. Mayoritas penduduk desa ini iyalah suku dayak, sedangkan suku-suku lain
yang berbaur didalamnya adalah suku Banjar, Batak, Jawa, dll. Selain itu juga
hidup berdampingan masyarakan antar umat beragama. Dalam kehidupan yang
berdampingan terikatlah tali persaudaraan antar suku, agama, dan ras. Hanya
saja di desa ini dudah hampir tak ada lagi yang menganut keyakinan kaharingan. Pusat kegiatan ekonomi desa
ini terletak pada pasar Rabu, yang di kenal dengan sebutan pasar Bajud, sesuai
dengan tempatnya. Disinilah terjadi transaksi dan interaksi antar warga. Warukin
sendiri berasal dari kata Weruken, yang dulunya adalah tempat yang banyak
terdapat pohon durian/papaken (ma’anyan, yang disukai oleh binatang sejenis
kera yang di sebutnya weruk (ma’anyan). Tempat ini juga konon katanya diberi
nama oleh seseorang pengembara yang mencari tempat tinggal, dimana untuknya
melanjutkan hidup dan mencari makan. Seorang ini sangat sakti, Tampan dan
Gagah. Dengan Hipet (dayak) yang digunakannya untuk mencari tempat tinggal ia
tembakan dan jatuh tepat ditempat yang banyak di tumbuhi pohon papaken, yang
amat disukai oleh weruk. Maka dijadikannyalah tempat itu sebagai tempat
tinggalnya yang kemudian di beri nama Weruken atau dikenal dengan sebutan
Warukin(sekarang). Sebagaimana suku lainnya, suku dayak di daerah ini juga
memiliki kebudayaan dan ritual serta upacara adat. Misalnya pada saat
perkawinan, kematian, upacara ucapan syukur, pesta panen, dll.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat ini iyalah
bahasa ma’anyan, tidak jauh beda dengan suku dayak yang ada di daerah Bar-tim
hanya saja mungkin karena terpengaruh dengan dialeg sekitarnya maka dialeg dan
gaya bicaranya sedikit beda dengan suku dayak yang ada di Bartim. Setidaknya
mungkin karena desa ini adalah satu-satunya pemukiman masyarakat dayak di
daerah tabalong. Bahasa Dayak Maanyan banyak memiliki persamaan dengan bahasa di Madagaskar. Contoh bahasa Maanyan adalah kamu = Hanyu, Mandi =
Mandrus, dan Tidur = manree.
Dari tulisan Rolland Oliver dan Brian M. Fagan dalam
bukunya "Africa in the Iron Age" tahun 1978, yang mengatakan bahwa orang Maanyan
datang dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun 945 - 946 M, berlayar
langsung melalui Samudera Hindia dengan 1000 buah perahu bercadik. Berdasar
fakta sejarah setiap bingkai relief di Candi Borobudur mengkisahkan atau
menceritakan kondisi Nusantara pada waktu masa kejayaan agama Budha. Yang
menarik, Kerajaan Sriwijaya, NanSarunai dan Majapahit. Dalam perjalanan
sejarahnya menggunakan perahu bercadik ini. Jika merujuk pada buku tulisan
Sanusi Pane, Sejarah Indonesia I, tahun 1965 halaman 58 - 59. Kerajaan
Sriwijaya memperluas kekuasaannya sampai meliputi wilayah Jawa Barat hingga
sebagian Jawa Tengah dan Empu Sendok dari Kerajaan Mataram Hindu sedang
terdesak sampai ke Jawa Timur dari tahun 929 - 947 M. Besar kemungkinan ahli
sastra/seniman pada masa itu mengabadikan peristiwa tersebut ( orang Ma'anyan
melakukan evakuasi besar-besaran dengan menggunakan 1000 buah perahu bercadik
pada tahun 945 - 946 M) pada relief-relief Candi.
Menurut orang Maanyan, sebelum menempati kawasan
tempat tinggalnya yang sekarang, mereka berasal dari hilir (Kalimantan
Selatan). Walaupun sekarang wilayah Barito Timur tidak termasuk dalam wilayah
Kalimantan Selatan. Tetapi wilayah ini dahulu termasuk dalam wilayah terakhir
Kesultanan Banjar sebelum digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860 yaitu
wilayah Kesultanan Banjar yang telah menyusut dan tidak memiliki akses ke laut,
sebab dikelilingi daerah-daerah Hindia Belanda. Menurut situs "Joshua
Project" suku Maanyan berjumlah 71.000 jiwa. Menurut sastra lisan suku
Maanyan, setelah mendapat serangan Marajampahit (Majapahit) kepada Kerajaan Nan
Sarunai, suku ini terpencar-pencar menjadi beberapa subetnis. Suku Maanyan
mendiami bagian timur Kalimantan Tengah terutama di kabupaten Barito Timur dan sebagian kabupaten Barito Selatan yang disebut Maanyan I. Suku Maanyan juga mendiami
bagian utara Kalimantan Selatan tepatnya di Kabupaten Tabalong yang disebut Dayak Warukin. Dayak Balangan (Dusun Balangan) yang terdapat di Kabupaten Balangan dan Dayak Samihim yang terdapat di Kabupaten Kotabaru juga digolongkan ke dalam suku Maanyan. Suku Maanyan
di Kalimantan Selatan dikelompokkan sebagai Maanyan II.
Suku Maanyan merupakan suku baru yang muncul dalam
sensus tahun 2000 dan merupakan 2,80% dari penduduk Kalimantan Tengah,
sebelumnya suku Maanyan tergabung ke dalam suku Dayak pada sensus 1930. Menurut
orang Maanyan, sebelum menempati kawasan tempat tinggalnya yang sekarang,
mereka berasal dari hilir (Kalimantan Selatan). Walaupun sekarang wilayah
Barito Timur tidak termasuk dalam wilayah Kalimantan Selatan, tetapi wilayah
ini dahulu termasuk dalam wilayah terakhir Kesultanan Banjar sebelum digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860 yaitu wilayah Kesultanan Banjar yang telah menyusut
dan tidak memiliki akses ke laut, sebab dikelilingi daerah-daerah Hindia
Belanda. Suku terbagi menjadi 7 subetnis, diantaranya:
- Maanyan Paju Epat (murni)
- Maanyan Dayu
- Maanyan Paju Sapuluh (ada pengaruh Banjar)
- Maanyan Benua Lima/Paju Lima (ada pengaruh Banjar)
- Maanyan Tanta (ada pengaruh Banjar)
- Maanyan Patai
- Maanyan Paku
- Maanyan Jangkung (ada pengaruh Banjar)
- Maanyan Warukin (ada pengaruh Banjar)
- dan lain-lain
Hukum Adat Dayak Maanyan Yang Mengatur Perkawinan
Perkawinan yang diatur menurut hukum adat ditata
secara bijaksana sebagai jaminan bagi masyarakat untuk menghindari semua jenis
pelanggaran hukum adat. Berkaitan dengan perkawinan, para remaja Dayak Ma’anyan
umumnya memilih sendiri pasangan hidup mereka. Setelah saling jatuh cinta dan
yakin bahwa pilihannya tidak keliru jalan yag ditempuh menuju jenjang
perkawinan dapat berupa:
1.
Ijari
Pasangan calon pengantin mengunjungi tokoh masyarakat / pengurus agama lalu
menyerahkan pernyataan tertulis disertai barang bukti yang menguatkan
pernyataan. Biasanya disusul dengan musyawarah antar ahli waris kedua belah
pihak untuk perencanaan kapan dan bagaimana perkawinan anak-anak mereka
dilaksanakan. Pertemuan tersebut menghasilkan surat pertunangan yang kelak akan
digunakan sebagai bukti resmi saat perkawinan dilaksanakan.
2.
Peminangan
Acara peminangan biasanya didahului oleh kesepakatan kecil antara ahli waris kedua
remaja saling jatuh cinta. Dalam acara peminangan dibuat surat pertunangan yang
mencantumkan hasil kesepakatan antara kedua belah pihak termasuk mencatat pula
semua barang bukti peminangan dan tata cara / hukum adat perkawinan.
Macam-macam Tata Cara Perkawinan Adat
1.
Singkup Paurung Hang Dapur
Tata cara ini merupakan tata cara yang paling
sederhana dalam hukum perkawinan Dayak Manyaan. Perkawinan resmi ini hanya
dihadiri oleh beberapa orang mantir (Tokoh Adat) dan Ahli Waris kedua
pengantin. Dalam tata cara ini ada hukum adat yang mengatur berupa:
-
Keagungan
-
Mantir
-
Kabanaran
-
Pamania
-
Pamakaian
-
Tutup
-
Huban (kalau ada)
-
Kalakar
-
Taliwakas
-
Turus Tajak
-
Pilah Saki tetap dilaksanakan.
2.
Adu Bakal
Upacara Adu Bakal dianggap perlu agar kedua pengantin
dapat hidup sah bersama untuk mempersiapkan perkawinan lanjutan. Adu Bakal
berlaku 100 hari, apabila perkawinan lanjutan tertunda melebihi masa 100 hari
perkawinan adu bakal, maka pengantin akan dikenakan denda saat perkawinan
lanjutan dilaksanakan berupa “Hukum Sapuhirang”.
3.
Adu Jari (adu biasa)
Pada perkawinan resmi ini, pengantin diapit oleh rekan
masing-masing mempelai. Perempuan mendampingi pengantin perempuan dan laki-laki
mendampingi pengantin laki-laki. Setelah upacara perkawinan ada ketentuan yang
disebut “pangasianan” asal kata “Kasianan” yang artinya mertua. Acara
“Pangasianan” adalah bertujuan untuk meningkatkan penyesuaian antara mertua
dengan menantu dan lingkungan yang baru.Dalam perkawinan ini ada hukum “lanyung
ume petan gantung”
4.
Adu hante
Pada tata cara ini perkawinan diadakan secara meriah
(baik keluarga mampu maupun kurang mampu) dengan acara wurung jue dan igunung
pirak. Tata cara perkawinan ini disertai upacara belian 2 malam untuk memberi
restu, mendoakan agar menjadi pasangan yang berhasil. Kedua pengantin biasanya
disanding di atas gong yang dilapisi 9 susun kain dan diapit 9 orang pemuda/i.
Begunung perak adalah prosesi
perkawinan adat dayak kalsel yang hampir punah. Perkawinan adat dayak ini
menurut ketua adat setempat diadakan terakhir pada tahun 1983. Perkawinan ini
adalah simbol dari status seseorang. Bagunung
Perak tidak semua orang bisa melakukan adat ini. Untuk kaum perempuan,
harus dari keturunan keluarga raja, bangsawan, atau status sosial yang tinggi.
Untuk pihak laki-laki bisa dari bangsawan atau rakyat biasa. Dijelaskan semua
lelaki boleh meminang putri bangsawan. Niat baik untuk menikahi harus
diutarakan dengan pemberian sebagai simbol permintaan kepada orang tua gadis.
Jika orang tua gadis setuju, pihak laki-laki harus membawa keluarga besarnya
untuk meminang sambil menyerahkan seserahan. Untuk adat pernikahan, dewan
adatlah yang akan menentukan.
Dewan adat adalah orang-orang yang terpilih untuk
mengurusi masalah adat salah satunya adalah perkawinan. Status sosial dari
pihak perempuan akan menjadi pertimbangan, kira-kira adat apa yang akan
dipakai, sedangkan pihak lelaki harus menuruti. Salah satu adat perkawinan yang
tertinggi derajatnya adalah prosesi Bagunung
Perak.
Bagunung perak diadakan oleh pihak perempuan. Pada
awalnya prosesi Bagunung Perak akan di dahului prosesi oleh Balian. Balian
adalah ahli spiritual yang akan membersihkan lokasi pernikahan dari gangguan
roh-roh jahat yang akan mengganggu. Pembersihan oleh balian ini biasanya
berlangsung selama 2 - 3 hari. Pada hari yang ditentukan pihak laki-laki akan
datang bersama keluarganya mengantar pengantin laki-laki. Tari dadas akan
menyambut mempelai lelaki tepat di pintu gerbang rumah mempelai perempuan. Tari
dadas akan dibawakan oleh 6 gadis belia. Para gadis yang menari akan memakai
beberapa gelang berukuran besar yang terbuat dari logam. Gelang ini akan
mengeluarkan bunyi yang nyaring untuk mengimbangi suara musik dayak. Tidak
hanya tari dadas, tetapi ada tarian lagi yang ditampilkam yakni tari Bawo.
Tarian ini dibawakan oleh 2 pemuda yang memakai gelang. Tarian berikutnya
adalah tarian giring-giring, tarian ini mendapat sentuhan moderninsasi yang
dibawakan oleh para gadis. Untuk tarian atraksi ada yang namanya tarian balian
gulat, yakni pertunjukan tarian oleh 2 pemuda yang berpakaian mirip balian.
Ritual selanjutnya adalah mempertemukan mempelai
laki-laki dengan perempuan. Mempelai perempuan akan keluar dari rumah sambil
diiringi dengan tarian, dan mempelai laki-laki sudah menunggu di pelaminan.
Saat yang ditunggu pun tiba akhirnya mereka bertemu dan saling melempar senyum,
sebelum dipersatukan dalam sebuah pelaminan.
Sumber - sumber: