Selasa, 12 Maret 2019

MASJID PUSAKA






Masjid Pusaka Banua Lawas adalah sebuah masjid tua yang terletak di desa Banua Lawas, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Masjid ini juga sering disebut Masjid Pasar Arba karena pada hari rabu (arba), jumlah para pengunjung/peziarah lebih banyak dari hari-hari yang lain.
Di masjid tertua di Kabupaten Tabalong yang dikeramatkan itu, selain menjadi tempat ibadah, juga menjadi tonggak atau bukti sejarah diterimanya Islam bagi suku Dayak Maanyan di Kabupaten Tabalong.
Masjid ini ramai dikunjungi atau diziarahi umat Islam, termasuk dari Kaltim. Di Masjid Pusaka ini, selain masih tersimpan beduk asli dan petaka sepanjang 110 cm. Keberadaannya sejak masjid dibangun tahun 1625 masehi yang diprakarsai Khatib Dayan dan saudaranya Sultan Abdurrahman (dari Kesultanan Banjar yang berpusat di Kuin). Khatib Dayan dibantu tokoh-tokoh masyarakat Dayak, juga Datu Ranggana, Datu Kartamina, Datu Saripanji, Langlang Buana, Taruntung Manau, Timba Sagara, Layar Sampit, Pambalah Batung dan Garuntung Waluh.

Peninggalan
Di teras depan Masjid Pusaka, ada dua tajau (guci tempat penampungan air yang dulunya digunakan suku Dayak untuk memandikan anak yang baru lahir). Kendati diterpa atau disengat matahari, namun dua tajau yang usianya mencapai 400 tahun itu tak berubah warnanya.
Para peziarah ke sana tak lupa membawa pulang air dalam tajau itu karena diyakini warga memiliki berkah digunakan cuci muka atau diminum. Kebanyakan mereka datang ke Masjid Pusaka pada hari Rabu karena bertepatan hari pasar di Banua Lawas. Mereka menyempatkan diri ziarah, selain untuk beribadah antara lain sembahyang sunat tahiyatul masjid dan membaca surah Ya Sin, juga ada yang mengaku membayar nazar, karena harapannya terkabul.
Di samping masjid terdapat pekuburan warga setempat sejak dahulu dan salah satu yang mencolok adalah bangunan (kubah) yang merupakan makam pejuang Banjar bernama Penghulu Rasyid.



Deskripsi Bangunan
Masjid Pusaka Banua Lawas berdiri di atas lahan berpagar besi dan di bagian depan terdapat pintu gerbang yang terbuat dari beton dan dua pintu dari besi. Halaman sebelah kiri (selatan) terdapat kompleks makam yang berhadapan langsung dengan sungai Hanyar. Sedangkan di sebelah kanan (utara) dan belakang (barat) masjid juga terdapat kompleks makam yang cukup luas. Makam-makam ini adalah makam kuno, tetapi banyak yang tidak diketahui. Diantara makam-makam yang berada di sebelah utara masjid terdapat makam Penghulu Rasyid, seorang pemimpin dan penyebar agama Islam pada waktu itu.
Masjid Pusaka BAnua Lawas berdenah segi empat berarsitektur tradisional. Bahannya sebagian besar tebuat dari kayu. Menurut informasi dari masyarakat, bahwa bangunan asli masjid ini beronstruksi panggung, tetapi sekarang lantai punggungnya sudah diurug dengan tanah dan ditutup ubin. Bangunan masjid memiliki serambi dan bangunan utama. Di dalam bangunan utama berdiri tiang-tiang, mihrab, mimbar.
Serambi
Untuk masuk ke serambi harus melalui enam anak tangga yang terbuat dari pasangan bata. Di samping kanan tangga terdapat dua buah guci tempat menampung air untuk cuci kaki. Serambi terletak di sekeliling masjid dan memiliki kandang (pagar) yang terbuat dari besi. Ukuran serambi depan yaitu lebar 3,10 m, panjang 20,28 m. Serambi muka ditopang oleh tujuh buah tiang terbuat dari kayu ulin, dan di antara tiang terdapat kandang (semacam pagar teralis/jeruji besi) yang jumlahnya masing-masing tidak sama. Kandang serambi depan dapat dibuka kea rah dalam dan dapat ditutup kembali. Di tengah ruangan serambi depan terdapat lima buah tiang yakni yang dilapis dengan semen serta ubin pada seperempat bagian bawah. Kandang serambi sebelah kiri dan kanan masjid masing-masig mempunyai delapan tiang, sedangkan kandang serambi belakang mempunyai sepuluh tiang. Lantai serambi ditutup dengan keramik (jenis mozaik) bermotif geometris dan polos dengan warna kebiru-biruan. Dipojok kiri serambi depan terdapat sebuah bedug yang sudah tua. Bedug ini terbuat dari kayu bulat yang dilubangi dan ditutup dengan kulit sapi.
Ruang Utama
Ruang utama masjid berukuran 13,85 m x 13,85 m. Bangunan ini dipotong oleh 1`6 tiang, empat buah tiang diantaranya merupakan tiang utama (soko guru) dengan ukuran cukup besar, rata-rata berdiameter 41 cm. Sedangkan tiang-tiang lain diameternya rata-rata berukuran 27 cm. Semua tiang yang berada di dalam masjid ini berpenampang segi delapan dan dicat dengan warna putih. Penampang tiang segi delapan ini dekerjakan dengan alat yang sangat sederhana yakni dengan cara ditatah, hal ini Nampak pada permukaan tiang yang masih kasar. Diantara keempat tiang utama terdapat sebuah tangga lingkar terbuat dari kayu dengan anak tangga berjumlah 12 buah melingkari sebuah tiang bulat hingga keatas. Di ujung tangga bagian atas terdapat semacam balkon berdenah segi empat sebagai tempat bilal mengumandangkan adzan. Tiang-tiang utama di dalam masjid mempunyai sambungan pada masing-masing ujungnya. Tiap sambungan ini tebuat dari bilah-bilah kayu yang diikat menjadi satu yang menghubungkan atap tingkat pertama ke atap tingkat kedua, kemudian kea tap tingkat ketiga.
Dinding ruang utama masjid terbuat dari papan ulin yang dipasang susun vertical dan dicat warna putih dan hijau muda. Pada dinding depan terdapat pintu masuk berjumlah tiga buah dan jendela sepuluh buah. Masing-masing pintu dan jendela memiliki dua daun pintu dan dua daun jendela. Di atas pintu dan jendela sampai ke plafon dipasng kaca bercorak Eropa dengan warna biru, hijau muda, dan merah muda. Daun pintu maupun jendela berbentuk ram dengan kisi-kisi terbuat dari kayu, jumlah kisi-kisi setiap daun pintu maupun jendela 25 bilah. Pada dinding masjid sebelah kiri terdapat lima buah pintu. Di atas pintu terdapat lobang angina tau ventilasi (dahi lawang) berhiaskan ukiran tembus bermotif daun-daunan atau flora, namun sepintas lalu ventilisasi tersebut tampak seperti motif kepala singa yang disamarkan.
Dinding masjid sebelah kanan juga mempunyai lima buah pintu dengan bentuk yang sama dengan pintu-pintu sebelah kiri., Pintu-pintu tersebut juga mempunyai ventilasi di atasnya sama dengan ventilasi pada pintu-pintu dinding masjid sebelah kiri. Dinding belakang menyatu dengan ruangan pengiriman (mihrab). Di bagian ini ada dua buah pintu yang masing-masing berada di sebelah kanan dan kiri maihrab. Bentuk pintu dan ventilasinya maupun warna cat sama dengan pintu-pintu lainnya.Lantai ruang utama agak tinggi dari tanah dasar (diurug) dan di tutup dengan ubin teraso berwarna hijau muda, berukuran 20 x 20 cm. Setiap empat buah pasangan ubin dipasang pula satu baris ubin bermotif sebagai garis batas shaf untuk sholat berjamaah. Bangunan ruang utama masjid ini beratap tiga tingkat berdenah segi empat. Atap paling atas atau tingkat ketiga berbentuk pyramid, atapnya sirap dilapis dengan seng. Begitu pula atp kedua dan pertama juga terbuat dari sirap yang dilapisi dengan seng sehingga jika dilihat dari luar semua atapnya memakai seng.
Antara atap dan tingkat pertama, kedua dan ketiga terdapat semacam celah (lubang angin) yang dipasang kaca bening. Kerangka kaca tersebut bentuknya seperti susunan bata berkotak-kotak. Jika dilihat dari dalam, seluruh atap masjid mempunyai langit-langit/plafon. Atap pertama plafonnya terbuat dari papan tripleks/plywood yang dipasang seperti susunan batu bata. Plafon seperti ini juga terdapat pada selasar yang terdapat di sekeliling masjid. Sedangkan plafon atap kedua dan ketiga terbuat dari bilah-bilah papan yang dipasang secara membujur kearah Timur dan Barat.
Bangunan mihrab dibangun menyatu dengan bangunan ruang utama, terutama pada dinding dan lantainya, tetapi mempunyai atap/kubah tersendiri. Bangunan mihrab berdenah segi delapan, atapnya dua tingkat dan diantara kedua tingkat atap tersebut terdapat celah/pemisah berupa dinding kaca. Kaca ini dipasang berkotak-kotak seperti pasangan bata. Jumlah kotak kaca pada masing-masing bidang adalah sepuluh kotak. Dinding bidang sebelah timur hanya dipasang dengan papan dalam posisi vertical. Atap mihrab tingkat pertama dankedua masih beratapkan sirap, namun kubahnya terbuat dari seng. Kubah mihrab bergaya Timur Tengah dan mempunyai pataka dipuncaknya dengan ragam hias yang lebih sederhana disbanding pataka yang terdapat pada ruang utama. Mihrab mempunyai jendela sebanyak enam buah namun tidak mempunyai pintu keluar. Jendela tersebut berada pada dinding/ penampang sebelah barat atau persis beraa di bawah dinding kaca yang memisahkan antara atap pertama dengan atap kedua.
Masing-masing jendela berukuran 0,50 x 1,61 m dan satu buah jendela mempunyai dua buah daun jendela yang dipasang kaca warna warni ,mengililingi kaca bening. Diantara enam buah jendela tersebut, terdapat empat buah jendela yang mempunyai ventilasi namun ditutup sengan kaca bening dan diberi teralis besi. Di atas ventilasi tersebut masih ada dinding terbuat dari kaca yang menempel langsung dengan atap pertama . Celah yang memisahkan atap pertama dengan kedua, terdapat semacam jendela/lubang cahaya yang dipasang kaca dan pada sebelah dalam dipasang papan dari kayu ulin secara vertical yang tampak seperti dinding. Langit-langit bagian dalam mihrab juga dipasang palfon bercat putih terbuat dari papan yang dipasang membujur arah timur barat. Lantai dalam mihrab terbuat dari ubin teraso yang kualitasnya cukup baik, hiasannya bermotif flora (bunga) dalam bentuk segi empat.  Batas ruang dalam mihrab dengan ruang utama ada semacam gapura berbentuk setengah lingkaran dan tepat di bagian atasnya terdapat pula hiasan berbentuk kubah terbalik.
Di dalam mihrab terdapat mimbar tempat khotib menyampaikan khotbah. Mimbar tersebut  bertangga di bagian mukanya dengan jumlah anak tangga sebanyak tiga buah. Mimbar berbentuk kotak segi empat dan mempunyai ruang di dalamnya. BAngunan ini di bagian atas dpan berbentuk lengkungan setengah lingkaran. Di samping kiri dan kanan mimbar terdapat semacam jendela namun tidak berdaun pintu. Mimbar dilengkapi dengan sebuah tongkat yang terbuat dari kayu ulin yang pada ujungnya memiliki dua mata tombak terbuat dari besi (dwisula). Tangga mimbar mempunyai pegangan di kiri dan kananya. Pegangan tersebut berbentuk semacam lilitan akar. Di dinding belakang dan atas mimbar terdapat ukiran yang dipasang terbalik, artinya ukiran tersebut hanya dapat dilihat dari dalam mimbar (lewat jendela dan pintu mimbar). Ukiran ini bermotif salur-salur daun dan bunga-bungan. Menurut informasi ukiran ini dulunya berada di bagian kiri dan kanan mimbar sebelah bawah dan merupakan peninggalan Penghulu Rasyid. Mimbar dan tangganya bercat putih, kecuali pada pegangan anak tangga dicat warna hijau.

Awalnya tempat pemujaan Kaharingan
Versi lain terdapat dalam tradisi lisan yang berkembang di daerah Banua Lawas dan sekitarnya yang menyebutkan bahwa tepat di lokasi Masjid Pusaka Banua Lawas yakni masjid tua berarsitektur tradisional beratap tumpang tiga, jauh sebelum agama Hindu dan Islam berkembang, sudah berdiri semacam pesanggra­han atau tempat pemujaan keper­cayaan Kaharingan suku Maanyan dalam bentuk yang sederhana. Tempat pemujaan itu diang­gap sakral, dan man­faatnya terasa sangat penting bagi orang-orang Maanyan yang pada masa itu banyak bermukim di Banua Lawas.

Mereka kemudian menyebut daerah lokasi bangunan pemujaan tersebut sebagai Banua Lawas atau Banua Usang. Suatu kemungkinan menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat, kemunculan, dan berkembangnya daerah-daerah lain di sekitarnya berawal dari Banua Lawas ini.




Kemungkinan peristiwa besar ter­jadi yang memaksa mereka harus meninggalkan kampung halaman dan bermukim atau membangun pemukiman baru, dan akhirnya mereka menyebut kampung yang ditinggalkan tersebut sebagai Banua Lawas.

Tradisi lisan yang berkembang di Banua Lawas menyebutkan bahwa sebagian orang-orang Maanyan menyingkir karena mereka tidak bersedia menerima Islam sebagai agama mereka. Tetapi kemungkinan lainnya adalah berkaitan dengan para imigran pelarian dari Jawa yang datang aki­bat kerusuhan politik di daerah asalnya dan mendirikan kerajaan baru di pulau Hujung Tanah berna­ma Negara Dipa.




Sumber :
- https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Pusaka_Banua_Lawas
- http://visittabalong.blogspot.co.id

GELAR BUDAYA DAYAK DEAH



Kegiatan rutin tahunan yang digelar oleh Lembaga Adat Dayak Deah ini, bertujuan untuk memperkenalkan seni dan budaya Dayak Deah, sekaligus juga mendorong sektor pariwisata di Tabalong.


Suku Dayak Dusun Deah merupakan salah satu suku Dayak dari rumpun Ot Danum//rumpun Barito Raya. Kelompok Dusun ini mendiami Desa Gunung Riut (Balangan) dan sebagian desa-desa di Kecamatan Upau, Muara Uya, Haruai, dan Bintang Ara yang terletak di bagian Utara, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Oleh karena itu suku yang kabarnya bermigrasi dari wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, Kaltim ke wilayah Kalsel ini juga disebut Dayak Tabalong.
Kata 'deah'  dalam Bahasa Dayak Deah berarti 'tidak'. maksudnya suku Dayak Deah walaupun beberapa di anataranya sudah memeluk agama Islam namun mereka tetap teguh menyatakan dirinya sebagai orang Dayak. Tidak seperti suku Dayak lainnya yang kemudian beralih menjadi orang Banjar (Melayu).
Adat Kampung Sepuluh adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut aturan adat yang mengikat di sepuluh kampung yang terdapat pada Kecamatan Bintang Ara, Haruai, dan Upau. Kesepuluh kampung tersebut merupakan satu kesatuan wilayah adat Dayak dari suku Dusun Deyah yang dipimpin oleh seorang Kepala Adat Kampung Sepuluh. Wilayah kesatuan adat tersebut meliputi dusun/desa Pamintan Raya, Dambung Raya, Kaong, Upau Jaya, Pangejak, Dambung Suring, Kembang Kuning, Kinarum, dan lainnya. Sejumlah kegiatan Dayak Deah Adat Kampung Sepuluh digelar meliputi persiapan kegiatan, mencakup kegiatan memasak lamang, menungkih kayu (membelah kayu), dan menumbuk padi. Dilanjutkan dengan Pawai Budaya yang menampilkan berbagai pakaian khas yang digunakan masyarakat Dayak Deyah dalam kegiatan sehari-hari. Serta pembukaan yang ditandai dengan Serah terima Babatan kepada pelaksana dan sambutan dari Bupati Tabalong. Selain itu ada pertunjukan seni tari tradisional dan alam seni dengan berbagai pertunjukan dan tari pergaulan Masyarakat Dayak Deah. Kegiatannya lainnya yaitu mengenalkan aktivitas sehari-hari masyarakat Dayak Deah antara lain pondok-pondok asli Dayak Deah, kegiatan bertani, menangkap ikan/hewan buruan, dan kuliner khas lokal. Selain itu ada permainan tradisional, mengolah makanan/kudapan tradisional, pertunjukan seni tradisional, dan malam seni dengan berbagai pertunjukan dan tari pergaulan Masyarakat Dayak Deah.
Dan juga diadakannya Upacara Manaik Manau, yakni upacara khas Dayak Deah, ujian bagi pemuda Dayak Deah berupa menaiki/memanjat pohon manau, sejenis rotan berukuran besar berduri dengan menggunakan tangan dan kaki telanjang. Upacara ini sendiri diiringi Tarian Balian. Kemudian dilanjutkan dengan Upacara Adat Pengembalian Babatan dan penutupan.

sumber-sumber :

ARUH BANIH


Kecamatan Jaro terkenal dengan pertaniannya, hamparan padi menghijau akan mudah kita temui bila kita berada di wilayah paling utara dari Tabalong ini. Kini bukan hanya pertanian padi tapi berkembang juga dengan perkebunan buah melon, bawang merah serta lombok, ini semakin menegaskan bagaimana warga Jaro sangat lekat dengan dunia pertanian. Warga jaro memiliki cara sendiri dalam mengapresiasikan rasa syukurnya terhadap limpahan alam yang subur untuk pertanian yakni dengan menggelar acara Aruh Banih sebuah acara dengan aneka kegiatan seperti gropyok tikus.


Gropyok tikus adalah kegiatan menangkap tikus secara bersama-sama di sawah yang akan mulai ditanami padi, “petani akan turun kesawah mereka bergotong royong menangkap tikus agar nanti sawah yang ditanami padi bersih dari hama tikus. 


Sebelum gropyok tikus dimulai acara pembukaan disuguhkan aneka tarian dari tiga suku yang mendiami Kecamatan Jaro, tari kuda Gepang dari suku Jawa, Tari Gintur dari suku Dayak dan tari kurung kurung dari suku Banjar, atraksi bela diri kuntaw juga disajikan panitia untuk memeriahkan aruh banih. Aruh Banih yang diadakan di kaki gunung batu kumpai juga menyuguhkan wisata petik melon, petik cabe, edukasi pertanian dan wisata goa liang kantin.





Sumber-sumber:

KINARUM INDAH



Objek wisata alam Kinarum Indah sangat menarik karena riak dan hempasan air yang mengaliri disela-sela batu besar. Batu ini mempunyai legenda tersendiri sesuai dengan beda warnanya. Selain sungai jaing riam kinarum, disini juga terdapat DAM air, dan pada hari sabtu dan minggu tersedia wisata balarut menggunakan perahu karet.


Dari alkisah masyarakat, batu-batu tersebut jatuh ketika sedang dibawa oleh seorang sakti yang bermaksud membendung sungai jaing guna mencari seorang putri. Airnya jernih, deras, dan deru airnya tinggi. Alamnya juga masih asri dengan udara sejuk sehingga menjadi lokasi wisata yang cocok untuk bersantai sambil mandi diantara bebatuan dan rindangnya pepohonan


BAKAWIN BAGUNUNG PERAK



Warukin adalah salah satu desa di Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Indonesia, ter letak sekitar 13 KM dari kota Tanjung. Jumlah penduduk di desa ini ±1858 orang, dengan mata pencaharian rata-rata sebagai petani Karet. Orang Dayak Ma’anyan Warukin yang sering disebut Dayak Warukin adalah subetnis suku Dayak Maanyan yang mendiami desa Warukin, Haus, dan sekitarnya di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Pemukiman Dayak Warukin terdapat dalam daerah kantong/enclave yang di sekitarnya adalah daerah pemukiman suku Banjar.
Mungkin sebenarnya tidak semua orang dari Suku Dayak Maanyan sudah memeluk agama Islam, tapi perkembangan Islam yang sangat pesat di wilayah Kalimantan Selatan dan kedatangan suku-suku lain dari luar Kalimantan yang juga beragama Islam sedikit banyak telah mempengaruhi pandangan masyarakat Suku Dayak tentang Islam. Suku Dayak Ma’anyan atau Dayak Warukin adalah penduduk asli daerah Tabalong. Jauh sebelum Islam dan agama yang lain datang, mereka memeluk agama Kaharingan (Kehidupan), yaitu aliran kepercayaan Suku Dayak Kalimantan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying.
Salah satu bukti diterimanya Islam oleh Suku Dayak di Kabupaten Tabalong adalah didirikannya Masjid Pusaka Banua Lawas sekitar tahun 1600an, di Kecamatan Banua Lawas Kabupaten Tabalong. Konon di lokasi tepat berdirinya Masjid ini, dulunya merupakan pesanggrahan atau tempat pemujaan Suku Dayak Maanyan. Bahkan di Masjid ini masih terdapat 2 buah tajau (gentong tempat menampung air yang digunakan orang Dayak untuk memandikan bayi yang baru lahir) peninggalan orang Dayak Maanyan yang telah berumur 400 tahun.
Seiring masuknya agama Islam ke wilayah Tabalong sebagian dari orang Dayak Maanyan yang tidak bisa menerima Islam memilih meninggalkan Banua Lawas. Mereka memilih masuk ke pedalaman-pedalaman hutan di wilayah Kalimantan Tengah. Sebagian besar orang Suku Dayak yang telah memeluk agama Islam tidak lagi menyebut diri mereka sebagai orang Dayak melainkan orang Banjar dan bermukim di wilayah Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, bahkan salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak Maanyan.

Asal Mula Desa Warukin dan Sejarah Tari Bulat

Pada zaman dahulu, tersebutlah seorang lelaki bernama Nawuraha yang konon berasal dari Kalimantan Tengah, bermaksud mencari dan membuka lahan pemukiman baru. Usaha Nawuraha tersebut tidaklah mudah, karena ia harus berhadapan dengan hutan belantara yang belum pernah terjamah oleh tangan manusia. Dengan berbekal peralatan seadanya seperti busur, sumpit dan mandau, Nawuraha bersama temannya terus berjalan mencari pemukiman baru. Sampai di satu tempat, Nawuraha mendapat firasat gaib bahwa untuk mendapatkan tempat bermukim yang baik, ia harus membidikkan anak panahnya ke satu tempat. Nawuraha pun menarik busur dan melepaskan anak panahnya. Kemudian ia berjalan lagi menuju ke arah anak panah tersebut. Setelah ditelusuri, Nawuraha mendapati anak panahnya tersangkut di atas pohon “Lelutung” yang biasa menjadi tempat bersarangnya “wanyi” (tawon). Maka ia pun mulai membuka lahan dan membuat pemukiman di sekitar tempat itu seperti bisikan gaib yang diterimanya.

Tempat itulah yang sekarang dikenal sebagai Desa warukin atau Waruken, yang merupakan paduan dari kata “Weruk”  atau Beruk (kera) dan “Papaken”  atau buah Pepakin (sejenis duren tetapi isinya berwarna kuning). Satu saat, seorang warga Desa Warukin mengalami kegamangan hati. Di tengah kesulitan hidup ia kemudian menyepi ke hutan belantara untuk mencari pencerahan dan makna hidup yang sebenarnya. Tiba-tiba muncul sosok legenda penjaga kampung mereka yang tidak lain adalah Nawuraha, memberikan kepadanya buah semangka yang harus dihabiskannya saat itu juga. Setelah buah itu dimakannya tak bersisa, tanpa sadar tubuhnya bisa melingkar bulat elastis seperti buah semangka. Itulah asal tarian bulat yang dikenal sekarang. Maknanya adalah bahwa dalam menghadapi kehidupan ini, seseorang harus memiliki pendirian dan keyakinan yang bulat kepada yang maha Kuasa.

Suku Dayak Warukin (Tabalong-Kalsel) merupakan salah satu subsuku Dayak Maanyan yang memiliki upacara balian bulat. Tradisi balian ini dibuat menjadi sebuah atraksi kesenian yang disebut Tari Tandik Balian. Orang Dayak Warukin adalah suku Maanyan yang terdapat di desa Warukin dan desa Haus, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Pemukiman Dayak Warukin terdapat dalam daerah kantong/enclave yang disekitarnya adalah daerah pemukiman suku Banjar. Hal ini bisa terjadi karena dahulu kala daerah di sekitar lembah sungai Tabalong pada umumnya adalah wilayah tradisonal suku Ma’anyaan, tetapi akhirnya mereka terdesak oleh perkembangan Kerajaan Negara Dipa yang menjadi cikal bakal suku Banjar. Selanjutnya suku Maanyan terkonsentrasi di sebelah barat yaitu di wilayah Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, dan sebagian terdapat di sebelah timur yaitu di Kabupaten Kota baru yang disebut Dayak Samihim.
Dayak Warukin di desa Warukin, Kecamatan Tanta, Tabalong merupakan bagian dari Ma’anyan Benua Lima. Maanyan Benua Lima merupakan subetnis Maanyan yang terdapat di kecamatan Benua Lima, Barito Timur. Nama asalnya Ma’anyan Paju Lima. Istilah “benua” berasal dari Bahasa Melayu Banjar.
Desa warukin terletak di kabupaten tabalong, kalimantan selatan. Dari  Banjarmasin 6 jam driving (kalo jalanan lancar, ada titik2  kemacetan pada siang hari), arah ke utara melalui jalan lintas propinsi menuju  ke balikpapan. Untuk akses darat bisa menggunakan bus  jurusan balikpapan di  sore sampai malam hari, atau menggunakan angkot. Akses udara bisa menggunakan  pelita air dengan durasi + 45 menit pada jam 12.30 siang (hari minggu off), Sedangkan untuk akses air bisa menggunakan speed boat dari pelabuhan trisakti  (banjarmasin) + 4-5jam. Tapi sayang untuk menuju ke lokasi tidak ada  transportasi umum. Untuk akses darat dan udara hanya bisa sampai jalan lintas  propinsi saja. Apalagi dengan akses sungai hanya bisa sampai di daerah kelanis  ( 1,5jam kearah barat warukin). Kekerabatan bahasa Maanyan Warukin dengan bahasa Banjar Kuala Lupak (Banjar Kuala) sekitar 50%. Kekerabatan bahasa Maanyan Warukin dengan bahasa Banjar Asam-Asam sekitar 57%. Di Kabupaten Tabalong ini terbagi menjadi empat wilayah keadatan Dayak, salah satu diantaranya wilayah keadatan Dayak Maanyan yaitu :
  1. Wilayah keadatan Dayak Maanyan di desa Warukin 
  2. Wilayah keadatan Dayak Deyah Kampung Sepuluh, meliputi sepuluh desa di kecamatan Upau, Haruai, Bintang Ara. 
  3. Wilayah keadatan Dayak Deyah Muara Uya dan Jaro. 
  4. Wilayah keadatan Dayak Lawangan di desa Binjai.
Di luar keempat daerah-daerah kantong keadatan Dayak Kabupaten Tabalong tersebut juga terdapat suku Banjar yang merupakan mayoritas populasi penduduk Tabalong dan suku Banjar ini tidak terikat dengan Hukum Adat Dayak. Mayoritas penduduk desa ini iyalah suku dayak, sedangkan suku-suku lain yang berbaur didalamnya adalah suku Banjar, Batak, Jawa, dll. Selain itu juga hidup berdampingan masyarakan antar umat beragama. Dalam kehidupan yang berdampingan terikatlah tali persaudaraan antar suku, agama, dan ras. Hanya saja di desa ini dudah hampir tak ada lagi yang menganut keyakinan kaharingan. Pusat kegiatan ekonomi desa ini terletak pada pasar Rabu, yang di kenal dengan sebutan pasar Bajud, sesuai dengan tempatnya. Disinilah terjadi transaksi dan interaksi antar warga. Warukin sendiri berasal dari kata Weruken, yang dulunya adalah tempat yang banyak terdapat pohon durian/papaken (ma’anyan, yang disukai oleh binatang sejenis kera yang di sebutnya weruk (ma’anyan). Tempat ini juga konon katanya diberi nama oleh seseorang pengembara yang mencari tempat tinggal, dimana untuknya melanjutkan hidup dan mencari makan. Seorang ini sangat sakti, Tampan dan Gagah. Dengan Hipet (dayak) yang digunakannya untuk mencari tempat tinggal ia tembakan dan jatuh tepat ditempat yang banyak di tumbuhi pohon papaken, yang amat disukai oleh weruk. Maka dijadikannyalah tempat itu sebagai tempat tinggalnya yang kemudian di beri nama Weruken atau dikenal dengan sebutan Warukin(sekarang). Sebagaimana suku lainnya, suku dayak di daerah ini juga memiliki kebudayaan dan ritual serta upacara adat. Misalnya pada saat perkawinan, kematian, upacara ucapan syukur, pesta panen, dll.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat ini iyalah bahasa ma’anyan, tidak jauh beda dengan suku dayak yang ada di daerah Bar-tim hanya saja mungkin karena terpengaruh dengan dialeg sekitarnya maka dialeg dan gaya bicaranya sedikit beda dengan suku dayak yang ada di Bartim. Setidaknya mungkin karena desa ini adalah satu-satunya pemukiman masyarakat dayak di daerah tabalong. Bahasa Dayak Maanyan banyak memiliki persamaan dengan bahasa di Madagaskar. Contoh bahasa Maanyan adalah kamu = Hanyu, Mandi = Mandrus, dan Tidur = manree.
Dari tulisan Rolland Oliver dan Brian M. Fagan dalam bukunya "Africa in the Iron Age" tahun 1978, yang mengatakan bahwa orang Maanyan datang dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun 945 - 946 M, berlayar langsung melalui Samudera Hindia dengan 1000 buah perahu bercadik. Berdasar fakta sejarah setiap bingkai relief di Candi Borobudur mengkisahkan atau menceritakan kondisi Nusantara pada waktu masa kejayaan agama Budha. Yang menarik, Kerajaan Sriwijaya, NanSarunai dan Majapahit. Dalam perjalanan sejarahnya menggunakan perahu bercadik ini. Jika merujuk pada buku tulisan Sanusi Pane, Sejarah Indonesia I, tahun 1965 halaman 58 - 59. Kerajaan Sriwijaya memperluas kekuasaannya sampai meliputi wilayah Jawa Barat hingga sebagian Jawa Tengah dan Empu Sendok dari Kerajaan Mataram Hindu sedang terdesak sampai ke Jawa Timur dari tahun 929 - 947 M. Besar kemungkinan ahli sastra/seniman pada masa itu mengabadikan peristiwa tersebut ( orang Ma'anyan melakukan evakuasi besar-besaran dengan menggunakan 1000 buah perahu bercadik pada tahun 945 - 946 M) pada relief-relief Candi.
Menurut orang Maanyan, sebelum menempati kawasan tempat tinggalnya yang sekarang, mereka berasal dari hilir (Kalimantan Selatan). Walaupun sekarang wilayah Barito Timur tidak termasuk dalam wilayah Kalimantan Selatan. Tetapi wilayah ini dahulu termasuk dalam wilayah terakhir Kesultanan Banjar sebelum digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860 yaitu wilayah Kesultanan Banjar yang telah menyusut dan tidak memiliki akses ke laut, sebab dikelilingi daerah-daerah Hindia Belanda. Menurut situs "Joshua Project" suku Maanyan berjumlah 71.000 jiwa. Menurut sastra lisan suku Maanyan, setelah mendapat serangan Marajampahit (Majapahit) kepada Kerajaan Nan Sarunai, suku ini terpencar-pencar menjadi beberapa subetnis. Suku Maanyan mendiami bagian timur Kalimantan Tengah terutama di kabupaten Barito Timur dan sebagian kabupaten Barito Selatan yang disebut Maanyan I. Suku Maanyan juga mendiami bagian utara Kalimantan Selatan tepatnya di Kabupaten Tabalong yang disebut Dayak Warukin. Dayak Balangan (Dusun Balangan) yang terdapat di Kabupaten Balangan dan Dayak Samihim yang terdapat di Kabupaten Kotabaru juga digolongkan ke dalam suku Maanyan. Suku Maanyan di Kalimantan Selatan dikelompokkan sebagai Maanyan II.
Suku Maanyan merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 2,80% dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Maanyan tergabung ke dalam suku Dayak pada sensus 1930. Menurut orang Maanyan, sebelum menempati kawasan tempat tinggalnya yang sekarang, mereka berasal dari hilir (Kalimantan Selatan). Walaupun sekarang wilayah Barito Timur tidak termasuk dalam wilayah Kalimantan Selatan, tetapi wilayah ini dahulu termasuk dalam wilayah terakhir Kesultanan Banjar sebelum digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860 yaitu wilayah Kesultanan Banjar yang telah menyusut dan tidak memiliki akses ke laut, sebab dikelilingi daerah-daerah Hindia Belanda. Suku terbagi menjadi 7 subetnis, diantaranya:
  1. Maanyan Paju Epat (murni) 
  2. Maanyan Dayu 
  3. Maanyan Paju Sapuluh (ada pengaruh Banjar) 
  4. Maanyan Benua Lima/Paju Lima (ada pengaruh Banjar) 
  5. Maanyan Tanta (ada pengaruh Banjar) 
  6. Maanyan Patai 
  7. Maanyan Paku 
  8. Maanyan Jangkung (ada pengaruh Banjar) 
  9. Maanyan Warukin (ada pengaruh Banjar) 
  10. dan lain-lain
Hukum Adat Dayak Maanyan Yang Mengatur Perkawinan
Perkawinan yang diatur menurut hukum adat ditata secara bijaksana sebagai jaminan bagi masyarakat untuk menghindari semua jenis pelanggaran hukum adat. Berkaitan dengan perkawinan,  para remaja Dayak Ma’anyan umumnya memilih sendiri pasangan hidup mereka. Setelah saling jatuh cinta dan yakin bahwa pilihannya tidak keliru jalan yag ditempuh menuju jenjang perkawinan dapat berupa:
1.        Ijari
Pasangan calon pengantin mengunjungi tokoh masyarakat / pengurus agama lalu menyerahkan pernyataan tertulis disertai barang bukti yang menguatkan pernyataan. Biasanya disusul dengan musyawarah antar ahli waris kedua belah pihak untuk perencanaan kapan dan bagaimana perkawinan anak-anak mereka dilaksanakan. Pertemuan tersebut menghasilkan surat pertunangan yang kelak akan digunakan sebagai bukti resmi saat perkawinan dilaksanakan.
2.        Peminangan
Acara peminangan biasanya didahului oleh kesepakatan kecil antara ahli waris kedua remaja saling jatuh cinta. Dalam acara peminangan dibuat surat pertunangan yang mencantumkan hasil kesepakatan antara kedua belah pihak termasuk mencatat pula semua barang bukti peminangan dan tata cara / hukum adat perkawinan.

Macam-macam Tata Cara Perkawinan Adat
1.        Singkup Paurung Hang Dapur
Tata cara ini merupakan tata cara yang paling sederhana dalam hukum perkawinan Dayak Manyaan. Perkawinan resmi ini hanya dihadiri oleh beberapa orang mantir (Tokoh Adat) dan Ahli Waris kedua pengantin. Dalam tata cara ini ada hukum adat yang mengatur berupa:
-          Keagungan
-          Mantir
-          Kabanaran
-          Pamania
-          Pamakaian
-          Tutup
-          Huban (kalau ada)
-          Kalakar
-          Taliwakas
-          Turus Tajak
-          Pilah Saki tetap dilaksanakan.
2.        Adu Bakal
Upacara Adu Bakal dianggap perlu agar kedua pengantin dapat hidup sah bersama untuk mempersiapkan perkawinan lanjutan. Adu Bakal berlaku 100 hari, apabila perkawinan lanjutan tertunda melebihi masa 100 hari perkawinan adu bakal, maka pengantin akan dikenakan denda saat perkawinan lanjutan dilaksanakan berupa “Hukum Sapuhirang”.
3.        Adu Jari (adu biasa)
Pada perkawinan resmi ini, pengantin diapit oleh rekan masing-masing mempelai. Perempuan mendampingi pengantin perempuan dan laki-laki mendampingi pengantin laki-laki. Setelah upacara perkawinan ada ketentuan yang disebut “pangasianan” asal kata “Kasianan” yang artinya mertua. Acara “Pangasianan” adalah bertujuan untuk meningkatkan penyesuaian antara mertua dengan menantu dan lingkungan yang baru.Dalam perkawinan ini ada hukum “lanyung ume petan gantung”
4.        Adu hante
Pada tata cara ini perkawinan diadakan secara meriah (baik keluarga mampu maupun kurang mampu) dengan acara wurung jue dan igunung pirak. Tata cara perkawinan ini disertai upacara belian 2 malam untuk memberi restu, mendoakan agar menjadi pasangan yang berhasil. Kedua pengantin biasanya disanding di atas gong yang dilapisi 9 susun kain dan diapit 9 orang pemuda/i.
Begunung perak adalah prosesi perkawinan adat dayak kalsel yang hampir punah. Perkawinan adat dayak ini menurut ketua adat setempat diadakan terakhir pada tahun 1983. Perkawinan ini adalah simbol dari status seseorang. Bagunung Perak tidak semua orang bisa melakukan adat ini. Untuk kaum perempuan, harus dari keturunan keluarga raja, bangsawan, atau status sosial yang tinggi. Untuk pihak laki-laki bisa dari bangsawan atau rakyat biasa. Dijelaskan semua lelaki boleh meminang putri bangsawan. Niat baik untuk menikahi harus diutarakan dengan pemberian sebagai simbol permintaan kepada orang tua gadis. Jika orang tua gadis setuju, pihak laki-laki harus membawa keluarga besarnya untuk meminang sambil menyerahkan seserahan. Untuk adat pernikahan, dewan adatlah yang akan menentukan.
 

Dewan adat adalah orang-orang yang terpilih untuk mengurusi masalah adat salah satunya adalah perkawinan. Status sosial dari pihak perempuan akan menjadi pertimbangan, kira-kira adat apa yang akan dipakai, sedangkan pihak lelaki harus menuruti. Salah satu adat perkawinan yang tertinggi derajatnya adalah prosesi Bagunung Perak.
 
Bagunung perak diadakan oleh pihak perempuan. Pada awalnya prosesi Bagunung Perak akan di dahului prosesi oleh Balian. Balian adalah ahli spiritual yang akan membersihkan lokasi pernikahan dari gangguan roh-roh jahat yang akan mengganggu. Pembersihan oleh balian ini biasanya berlangsung selama 2 - 3 hari. Pada hari yang ditentukan pihak laki-laki akan datang bersama keluarganya mengantar pengantin laki-laki. Tari dadas akan menyambut mempelai lelaki tepat di pintu gerbang rumah mempelai perempuan. Tari dadas akan dibawakan oleh 6 gadis belia. Para gadis yang menari akan memakai beberapa gelang berukuran besar yang terbuat dari logam. Gelang ini akan mengeluarkan bunyi yang nyaring untuk mengimbangi suara musik dayak. Tidak hanya tari dadas, tetapi ada tarian lagi yang ditampilkam yakni tari Bawo. Tarian ini dibawakan oleh 2 pemuda yang memakai gelang. Tarian berikutnya adalah tarian giring-giring, tarian ini mendapat sentuhan moderninsasi yang dibawakan oleh para gadis. Untuk tarian atraksi ada yang namanya tarian balian gulat, yakni pertunjukan tarian oleh 2 pemuda yang berpakaian mirip balian.
 
Ritual selanjutnya adalah mempertemukan mempelai laki-laki dengan perempuan. Mempelai perempuan akan keluar dari rumah sambil diiringi dengan tarian, dan mempelai laki-laki sudah menunggu di pelaminan. Saat yang ditunggu pun tiba akhirnya mereka bertemu dan saling melempar senyum, sebelum dipersatukan dalam sebuah pelaminan.




Sumber - sumber: