Selasa, 12 Maret 2019

BAKAWIN BAGUNUNG PERAK



Warukin adalah salah satu desa di Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Indonesia, ter letak sekitar 13 KM dari kota Tanjung. Jumlah penduduk di desa ini ±1858 orang, dengan mata pencaharian rata-rata sebagai petani Karet. Orang Dayak Ma’anyan Warukin yang sering disebut Dayak Warukin adalah subetnis suku Dayak Maanyan yang mendiami desa Warukin, Haus, dan sekitarnya di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Pemukiman Dayak Warukin terdapat dalam daerah kantong/enclave yang di sekitarnya adalah daerah pemukiman suku Banjar.
Mungkin sebenarnya tidak semua orang dari Suku Dayak Maanyan sudah memeluk agama Islam, tapi perkembangan Islam yang sangat pesat di wilayah Kalimantan Selatan dan kedatangan suku-suku lain dari luar Kalimantan yang juga beragama Islam sedikit banyak telah mempengaruhi pandangan masyarakat Suku Dayak tentang Islam. Suku Dayak Ma’anyan atau Dayak Warukin adalah penduduk asli daerah Tabalong. Jauh sebelum Islam dan agama yang lain datang, mereka memeluk agama Kaharingan (Kehidupan), yaitu aliran kepercayaan Suku Dayak Kalimantan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying.
Salah satu bukti diterimanya Islam oleh Suku Dayak di Kabupaten Tabalong adalah didirikannya Masjid Pusaka Banua Lawas sekitar tahun 1600an, di Kecamatan Banua Lawas Kabupaten Tabalong. Konon di lokasi tepat berdirinya Masjid ini, dulunya merupakan pesanggrahan atau tempat pemujaan Suku Dayak Maanyan. Bahkan di Masjid ini masih terdapat 2 buah tajau (gentong tempat menampung air yang digunakan orang Dayak untuk memandikan bayi yang baru lahir) peninggalan orang Dayak Maanyan yang telah berumur 400 tahun.
Seiring masuknya agama Islam ke wilayah Tabalong sebagian dari orang Dayak Maanyan yang tidak bisa menerima Islam memilih meninggalkan Banua Lawas. Mereka memilih masuk ke pedalaman-pedalaman hutan di wilayah Kalimantan Tengah. Sebagian besar orang Suku Dayak yang telah memeluk agama Islam tidak lagi menyebut diri mereka sebagai orang Dayak melainkan orang Banjar dan bermukim di wilayah Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, bahkan salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak Maanyan.

Asal Mula Desa Warukin dan Sejarah Tari Bulat

Pada zaman dahulu, tersebutlah seorang lelaki bernama Nawuraha yang konon berasal dari Kalimantan Tengah, bermaksud mencari dan membuka lahan pemukiman baru. Usaha Nawuraha tersebut tidaklah mudah, karena ia harus berhadapan dengan hutan belantara yang belum pernah terjamah oleh tangan manusia. Dengan berbekal peralatan seadanya seperti busur, sumpit dan mandau, Nawuraha bersama temannya terus berjalan mencari pemukiman baru. Sampai di satu tempat, Nawuraha mendapat firasat gaib bahwa untuk mendapatkan tempat bermukim yang baik, ia harus membidikkan anak panahnya ke satu tempat. Nawuraha pun menarik busur dan melepaskan anak panahnya. Kemudian ia berjalan lagi menuju ke arah anak panah tersebut. Setelah ditelusuri, Nawuraha mendapati anak panahnya tersangkut di atas pohon “Lelutung” yang biasa menjadi tempat bersarangnya “wanyi” (tawon). Maka ia pun mulai membuka lahan dan membuat pemukiman di sekitar tempat itu seperti bisikan gaib yang diterimanya.

Tempat itulah yang sekarang dikenal sebagai Desa warukin atau Waruken, yang merupakan paduan dari kata “Weruk”  atau Beruk (kera) dan “Papaken”  atau buah Pepakin (sejenis duren tetapi isinya berwarna kuning). Satu saat, seorang warga Desa Warukin mengalami kegamangan hati. Di tengah kesulitan hidup ia kemudian menyepi ke hutan belantara untuk mencari pencerahan dan makna hidup yang sebenarnya. Tiba-tiba muncul sosok legenda penjaga kampung mereka yang tidak lain adalah Nawuraha, memberikan kepadanya buah semangka yang harus dihabiskannya saat itu juga. Setelah buah itu dimakannya tak bersisa, tanpa sadar tubuhnya bisa melingkar bulat elastis seperti buah semangka. Itulah asal tarian bulat yang dikenal sekarang. Maknanya adalah bahwa dalam menghadapi kehidupan ini, seseorang harus memiliki pendirian dan keyakinan yang bulat kepada yang maha Kuasa.

Suku Dayak Warukin (Tabalong-Kalsel) merupakan salah satu subsuku Dayak Maanyan yang memiliki upacara balian bulat. Tradisi balian ini dibuat menjadi sebuah atraksi kesenian yang disebut Tari Tandik Balian. Orang Dayak Warukin adalah suku Maanyan yang terdapat di desa Warukin dan desa Haus, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Pemukiman Dayak Warukin terdapat dalam daerah kantong/enclave yang disekitarnya adalah daerah pemukiman suku Banjar. Hal ini bisa terjadi karena dahulu kala daerah di sekitar lembah sungai Tabalong pada umumnya adalah wilayah tradisonal suku Ma’anyaan, tetapi akhirnya mereka terdesak oleh perkembangan Kerajaan Negara Dipa yang menjadi cikal bakal suku Banjar. Selanjutnya suku Maanyan terkonsentrasi di sebelah barat yaitu di wilayah Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, dan sebagian terdapat di sebelah timur yaitu di Kabupaten Kota baru yang disebut Dayak Samihim.
Dayak Warukin di desa Warukin, Kecamatan Tanta, Tabalong merupakan bagian dari Ma’anyan Benua Lima. Maanyan Benua Lima merupakan subetnis Maanyan yang terdapat di kecamatan Benua Lima, Barito Timur. Nama asalnya Ma’anyan Paju Lima. Istilah “benua” berasal dari Bahasa Melayu Banjar.
Desa warukin terletak di kabupaten tabalong, kalimantan selatan. Dari  Banjarmasin 6 jam driving (kalo jalanan lancar, ada titik2  kemacetan pada siang hari), arah ke utara melalui jalan lintas propinsi menuju  ke balikpapan. Untuk akses darat bisa menggunakan bus  jurusan balikpapan di  sore sampai malam hari, atau menggunakan angkot. Akses udara bisa menggunakan  pelita air dengan durasi + 45 menit pada jam 12.30 siang (hari minggu off), Sedangkan untuk akses air bisa menggunakan speed boat dari pelabuhan trisakti  (banjarmasin) + 4-5jam. Tapi sayang untuk menuju ke lokasi tidak ada  transportasi umum. Untuk akses darat dan udara hanya bisa sampai jalan lintas  propinsi saja. Apalagi dengan akses sungai hanya bisa sampai di daerah kelanis  ( 1,5jam kearah barat warukin). Kekerabatan bahasa Maanyan Warukin dengan bahasa Banjar Kuala Lupak (Banjar Kuala) sekitar 50%. Kekerabatan bahasa Maanyan Warukin dengan bahasa Banjar Asam-Asam sekitar 57%. Di Kabupaten Tabalong ini terbagi menjadi empat wilayah keadatan Dayak, salah satu diantaranya wilayah keadatan Dayak Maanyan yaitu :
  1. Wilayah keadatan Dayak Maanyan di desa Warukin 
  2. Wilayah keadatan Dayak Deyah Kampung Sepuluh, meliputi sepuluh desa di kecamatan Upau, Haruai, Bintang Ara. 
  3. Wilayah keadatan Dayak Deyah Muara Uya dan Jaro. 
  4. Wilayah keadatan Dayak Lawangan di desa Binjai.
Di luar keempat daerah-daerah kantong keadatan Dayak Kabupaten Tabalong tersebut juga terdapat suku Banjar yang merupakan mayoritas populasi penduduk Tabalong dan suku Banjar ini tidak terikat dengan Hukum Adat Dayak. Mayoritas penduduk desa ini iyalah suku dayak, sedangkan suku-suku lain yang berbaur didalamnya adalah suku Banjar, Batak, Jawa, dll. Selain itu juga hidup berdampingan masyarakan antar umat beragama. Dalam kehidupan yang berdampingan terikatlah tali persaudaraan antar suku, agama, dan ras. Hanya saja di desa ini dudah hampir tak ada lagi yang menganut keyakinan kaharingan. Pusat kegiatan ekonomi desa ini terletak pada pasar Rabu, yang di kenal dengan sebutan pasar Bajud, sesuai dengan tempatnya. Disinilah terjadi transaksi dan interaksi antar warga. Warukin sendiri berasal dari kata Weruken, yang dulunya adalah tempat yang banyak terdapat pohon durian/papaken (ma’anyan, yang disukai oleh binatang sejenis kera yang di sebutnya weruk (ma’anyan). Tempat ini juga konon katanya diberi nama oleh seseorang pengembara yang mencari tempat tinggal, dimana untuknya melanjutkan hidup dan mencari makan. Seorang ini sangat sakti, Tampan dan Gagah. Dengan Hipet (dayak) yang digunakannya untuk mencari tempat tinggal ia tembakan dan jatuh tepat ditempat yang banyak di tumbuhi pohon papaken, yang amat disukai oleh weruk. Maka dijadikannyalah tempat itu sebagai tempat tinggalnya yang kemudian di beri nama Weruken atau dikenal dengan sebutan Warukin(sekarang). Sebagaimana suku lainnya, suku dayak di daerah ini juga memiliki kebudayaan dan ritual serta upacara adat. Misalnya pada saat perkawinan, kematian, upacara ucapan syukur, pesta panen, dll.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat ini iyalah bahasa ma’anyan, tidak jauh beda dengan suku dayak yang ada di daerah Bar-tim hanya saja mungkin karena terpengaruh dengan dialeg sekitarnya maka dialeg dan gaya bicaranya sedikit beda dengan suku dayak yang ada di Bartim. Setidaknya mungkin karena desa ini adalah satu-satunya pemukiman masyarakat dayak di daerah tabalong. Bahasa Dayak Maanyan banyak memiliki persamaan dengan bahasa di Madagaskar. Contoh bahasa Maanyan adalah kamu = Hanyu, Mandi = Mandrus, dan Tidur = manree.
Dari tulisan Rolland Oliver dan Brian M. Fagan dalam bukunya "Africa in the Iron Age" tahun 1978, yang mengatakan bahwa orang Maanyan datang dan menetap di pulau Madagaskar pada tahun 945 - 946 M, berlayar langsung melalui Samudera Hindia dengan 1000 buah perahu bercadik. Berdasar fakta sejarah setiap bingkai relief di Candi Borobudur mengkisahkan atau menceritakan kondisi Nusantara pada waktu masa kejayaan agama Budha. Yang menarik, Kerajaan Sriwijaya, NanSarunai dan Majapahit. Dalam perjalanan sejarahnya menggunakan perahu bercadik ini. Jika merujuk pada buku tulisan Sanusi Pane, Sejarah Indonesia I, tahun 1965 halaman 58 - 59. Kerajaan Sriwijaya memperluas kekuasaannya sampai meliputi wilayah Jawa Barat hingga sebagian Jawa Tengah dan Empu Sendok dari Kerajaan Mataram Hindu sedang terdesak sampai ke Jawa Timur dari tahun 929 - 947 M. Besar kemungkinan ahli sastra/seniman pada masa itu mengabadikan peristiwa tersebut ( orang Ma'anyan melakukan evakuasi besar-besaran dengan menggunakan 1000 buah perahu bercadik pada tahun 945 - 946 M) pada relief-relief Candi.
Menurut orang Maanyan, sebelum menempati kawasan tempat tinggalnya yang sekarang, mereka berasal dari hilir (Kalimantan Selatan). Walaupun sekarang wilayah Barito Timur tidak termasuk dalam wilayah Kalimantan Selatan. Tetapi wilayah ini dahulu termasuk dalam wilayah terakhir Kesultanan Banjar sebelum digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860 yaitu wilayah Kesultanan Banjar yang telah menyusut dan tidak memiliki akses ke laut, sebab dikelilingi daerah-daerah Hindia Belanda. Menurut situs "Joshua Project" suku Maanyan berjumlah 71.000 jiwa. Menurut sastra lisan suku Maanyan, setelah mendapat serangan Marajampahit (Majapahit) kepada Kerajaan Nan Sarunai, suku ini terpencar-pencar menjadi beberapa subetnis. Suku Maanyan mendiami bagian timur Kalimantan Tengah terutama di kabupaten Barito Timur dan sebagian kabupaten Barito Selatan yang disebut Maanyan I. Suku Maanyan juga mendiami bagian utara Kalimantan Selatan tepatnya di Kabupaten Tabalong yang disebut Dayak Warukin. Dayak Balangan (Dusun Balangan) yang terdapat di Kabupaten Balangan dan Dayak Samihim yang terdapat di Kabupaten Kotabaru juga digolongkan ke dalam suku Maanyan. Suku Maanyan di Kalimantan Selatan dikelompokkan sebagai Maanyan II.
Suku Maanyan merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 2,80% dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Maanyan tergabung ke dalam suku Dayak pada sensus 1930. Menurut orang Maanyan, sebelum menempati kawasan tempat tinggalnya yang sekarang, mereka berasal dari hilir (Kalimantan Selatan). Walaupun sekarang wilayah Barito Timur tidak termasuk dalam wilayah Kalimantan Selatan, tetapi wilayah ini dahulu termasuk dalam wilayah terakhir Kesultanan Banjar sebelum digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860 yaitu wilayah Kesultanan Banjar yang telah menyusut dan tidak memiliki akses ke laut, sebab dikelilingi daerah-daerah Hindia Belanda. Suku terbagi menjadi 7 subetnis, diantaranya:
  1. Maanyan Paju Epat (murni) 
  2. Maanyan Dayu 
  3. Maanyan Paju Sapuluh (ada pengaruh Banjar) 
  4. Maanyan Benua Lima/Paju Lima (ada pengaruh Banjar) 
  5. Maanyan Tanta (ada pengaruh Banjar) 
  6. Maanyan Patai 
  7. Maanyan Paku 
  8. Maanyan Jangkung (ada pengaruh Banjar) 
  9. Maanyan Warukin (ada pengaruh Banjar) 
  10. dan lain-lain
Hukum Adat Dayak Maanyan Yang Mengatur Perkawinan
Perkawinan yang diatur menurut hukum adat ditata secara bijaksana sebagai jaminan bagi masyarakat untuk menghindari semua jenis pelanggaran hukum adat. Berkaitan dengan perkawinan,  para remaja Dayak Ma’anyan umumnya memilih sendiri pasangan hidup mereka. Setelah saling jatuh cinta dan yakin bahwa pilihannya tidak keliru jalan yag ditempuh menuju jenjang perkawinan dapat berupa:
1.        Ijari
Pasangan calon pengantin mengunjungi tokoh masyarakat / pengurus agama lalu menyerahkan pernyataan tertulis disertai barang bukti yang menguatkan pernyataan. Biasanya disusul dengan musyawarah antar ahli waris kedua belah pihak untuk perencanaan kapan dan bagaimana perkawinan anak-anak mereka dilaksanakan. Pertemuan tersebut menghasilkan surat pertunangan yang kelak akan digunakan sebagai bukti resmi saat perkawinan dilaksanakan.
2.        Peminangan
Acara peminangan biasanya didahului oleh kesepakatan kecil antara ahli waris kedua remaja saling jatuh cinta. Dalam acara peminangan dibuat surat pertunangan yang mencantumkan hasil kesepakatan antara kedua belah pihak termasuk mencatat pula semua barang bukti peminangan dan tata cara / hukum adat perkawinan.

Macam-macam Tata Cara Perkawinan Adat
1.        Singkup Paurung Hang Dapur
Tata cara ini merupakan tata cara yang paling sederhana dalam hukum perkawinan Dayak Manyaan. Perkawinan resmi ini hanya dihadiri oleh beberapa orang mantir (Tokoh Adat) dan Ahli Waris kedua pengantin. Dalam tata cara ini ada hukum adat yang mengatur berupa:
-          Keagungan
-          Mantir
-          Kabanaran
-          Pamania
-          Pamakaian
-          Tutup
-          Huban (kalau ada)
-          Kalakar
-          Taliwakas
-          Turus Tajak
-          Pilah Saki tetap dilaksanakan.
2.        Adu Bakal
Upacara Adu Bakal dianggap perlu agar kedua pengantin dapat hidup sah bersama untuk mempersiapkan perkawinan lanjutan. Adu Bakal berlaku 100 hari, apabila perkawinan lanjutan tertunda melebihi masa 100 hari perkawinan adu bakal, maka pengantin akan dikenakan denda saat perkawinan lanjutan dilaksanakan berupa “Hukum Sapuhirang”.
3.        Adu Jari (adu biasa)
Pada perkawinan resmi ini, pengantin diapit oleh rekan masing-masing mempelai. Perempuan mendampingi pengantin perempuan dan laki-laki mendampingi pengantin laki-laki. Setelah upacara perkawinan ada ketentuan yang disebut “pangasianan” asal kata “Kasianan” yang artinya mertua. Acara “Pangasianan” adalah bertujuan untuk meningkatkan penyesuaian antara mertua dengan menantu dan lingkungan yang baru.Dalam perkawinan ini ada hukum “lanyung ume petan gantung”
4.        Adu hante
Pada tata cara ini perkawinan diadakan secara meriah (baik keluarga mampu maupun kurang mampu) dengan acara wurung jue dan igunung pirak. Tata cara perkawinan ini disertai upacara belian 2 malam untuk memberi restu, mendoakan agar menjadi pasangan yang berhasil. Kedua pengantin biasanya disanding di atas gong yang dilapisi 9 susun kain dan diapit 9 orang pemuda/i.
Begunung perak adalah prosesi perkawinan adat dayak kalsel yang hampir punah. Perkawinan adat dayak ini menurut ketua adat setempat diadakan terakhir pada tahun 1983. Perkawinan ini adalah simbol dari status seseorang. Bagunung Perak tidak semua orang bisa melakukan adat ini. Untuk kaum perempuan, harus dari keturunan keluarga raja, bangsawan, atau status sosial yang tinggi. Untuk pihak laki-laki bisa dari bangsawan atau rakyat biasa. Dijelaskan semua lelaki boleh meminang putri bangsawan. Niat baik untuk menikahi harus diutarakan dengan pemberian sebagai simbol permintaan kepada orang tua gadis. Jika orang tua gadis setuju, pihak laki-laki harus membawa keluarga besarnya untuk meminang sambil menyerahkan seserahan. Untuk adat pernikahan, dewan adatlah yang akan menentukan.
 

Dewan adat adalah orang-orang yang terpilih untuk mengurusi masalah adat salah satunya adalah perkawinan. Status sosial dari pihak perempuan akan menjadi pertimbangan, kira-kira adat apa yang akan dipakai, sedangkan pihak lelaki harus menuruti. Salah satu adat perkawinan yang tertinggi derajatnya adalah prosesi Bagunung Perak.
 
Bagunung perak diadakan oleh pihak perempuan. Pada awalnya prosesi Bagunung Perak akan di dahului prosesi oleh Balian. Balian adalah ahli spiritual yang akan membersihkan lokasi pernikahan dari gangguan roh-roh jahat yang akan mengganggu. Pembersihan oleh balian ini biasanya berlangsung selama 2 - 3 hari. Pada hari yang ditentukan pihak laki-laki akan datang bersama keluarganya mengantar pengantin laki-laki. Tari dadas akan menyambut mempelai lelaki tepat di pintu gerbang rumah mempelai perempuan. Tari dadas akan dibawakan oleh 6 gadis belia. Para gadis yang menari akan memakai beberapa gelang berukuran besar yang terbuat dari logam. Gelang ini akan mengeluarkan bunyi yang nyaring untuk mengimbangi suara musik dayak. Tidak hanya tari dadas, tetapi ada tarian lagi yang ditampilkam yakni tari Bawo. Tarian ini dibawakan oleh 2 pemuda yang memakai gelang. Tarian berikutnya adalah tarian giring-giring, tarian ini mendapat sentuhan moderninsasi yang dibawakan oleh para gadis. Untuk tarian atraksi ada yang namanya tarian balian gulat, yakni pertunjukan tarian oleh 2 pemuda yang berpakaian mirip balian.
 
Ritual selanjutnya adalah mempertemukan mempelai laki-laki dengan perempuan. Mempelai perempuan akan keluar dari rumah sambil diiringi dengan tarian, dan mempelai laki-laki sudah menunggu di pelaminan. Saat yang ditunggu pun tiba akhirnya mereka bertemu dan saling melempar senyum, sebelum dipersatukan dalam sebuah pelaminan.




Sumber - sumber:

Tidak ada komentar:
Write Comments